sumber : blogger
Pendahuluan
Dalam suatu organisasi proses manajemen organisasi sangat menentukan keberhasilan organisasi tersebut dalam mencapai tujuan. Karena dalam proses manajemen tersebut meliputi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan organisasi. Manajemen tersebut meliputi kegiatan yang berupa Planning, Organizing, Actuating dan Controlling. Kesemua kegiatan dalam proses manajemen tersebut mempunyai peranan yang besar dan menentukan, serta merupakan suatu kesatuan fungsi yang harus dilaksanakan secara simultan dan tidak terpisah – pisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Lebih lanjut bahwa pelaksanaan keempat tahapan tersebut, sangat ditentukan oleh adanya faktor – faktor yang menjadi penggerak terlaksananya proses manajemen suatu organisasi. Adapun faktor – faktor tersebut yaitu : Man, Money, Method dan Material. Sehingga dalam suatu pencapaian tujuan organisasi sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas dan kuantitas sumber daya manusianya, bagaimana sumber daya finansial / alamnya, bagaimana metode pelaksanaan kegiatan / pekerjaan sehari – hari, serta bagaimana kualitas dan kuantitas kepemilikan modal serta bahan baku.
Demikian pula terhadap organisasi Polri. Keempat faktor tersebut juga sangat berperan dalam mendukung pelaksanaan tugas organisasi Polri untuk mencapai tujuan yang diinginkan sesuai dengan Visi dan Misi organisasi Polri. Dengan mengacu kepada visi Polri yaitu ”Terwujudnya postur Polisi yang profesional, bermoral, dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang dipercaya dalam melindungi masyarakat dan menegakkan hukum”, maka sangat kentara sekali bahwa fokus dan titik berat pelaksanaan kegiatan Polri dalam untuk mewujudkan suatu Personel yang sempurna, dalam hal ini membentuk atau terwujudnya personel Polisi Indonesia yang profesional, bermoral dan modern.
Untuk mencapai tujuan yang bersumber atau berdasar dari visi Polri tersebut diatas, maka faktor kualitas sumber daya manusia (kualitas Personel Polisi) menjadi faktor penentunya. Kita ketahui bersama bahwa untuk mendapatkan suatu personel yang berkualitas maka sangat tergantung kepada bagaimana proses seleksi dan penerimaan personel dari suatu organisasi dilakukan.
Assessment Center Polri
Pada dewasa ini, proses dan sistem perekrutan personel dan anggota Polri dilakukan melalui tiga model atau tiga jalur, yaitu melalui penerimaan dan seleksi Perwira Polisi (Akpol), penerimaan dan seleksi Bintara Polri dan penerimaan dan seleksi PNS Polri. Dari ketiga jalur atau proses penerimaan personel tersebut, bahwa proses seleksi penerimaan Akpol dan Bintara merupakan jalur yang memberikan pengaruh besar dari corak dan warna organisasi Polri. Hal ini dikarenakan, kedua jalur / proses penerimaan tersebut (Akpol dan Bintara) menghasilkan personel – personel yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Sedangkan untuk seleksi PNS Polri, hal ini kurang berpengaruh karena konsep dari PNS Polri hanyalah sebagai komplemen dalam susunan organisasi Polri.
Dalam kedua proses seleksi penerimaan personel tersebut, baik Akpol maupun Bintara Polri tersebut, terdapat kesamaan – kesamaan yang berupa adanya ketentuan – ketentuan yang mensyaratkan bahwa untuk menjadi seorang personel Polri harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut diantaranya :
1. Mengenai batasan umur ; bahwa untuk menjadi anggota Pesonel Polri harus tidak melebihi umur tertentu.
2. Pendidikan ; adanya persyaratan pendidikan minimal untuk seleksi penerimaan personel Polri tertentu.
3. Sehat jasmani dan rohani.
4. Mengikuti dan lolos tahapan tes seleksi, meliputi :
a. Tes Akademik, baik tes potensi akademik, tes pengetahuan umum kepolisian dan tes bahasa inggris.
b. Tes Kesemaptaan jasmani.
c. Tes Psikologi.
d. Tes Mental Ideologi
e. Tes Wawancara / parade.
Dari persyaratan dan ketentuan tersebut diatas, ternyata berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor – faktor diatas belumlah cukup untuk dapat menjaring dan menghasilkan sosok personel Polri yang diharapkan oleh masyarakat. Yaitu sosok petugas polisi yang mengedepankan civillian.
Sosok Polisi Dilapangan
Selama ini masih dirasakan oleh masyarakat bahwa sosok polisi yang sering dijumpainya adalah polisi yang mengedepankan kekuasaan dan kedaerahannya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wortley dan Homel pada tahun 1995. Demikian pula ensiklopedia kapolri (Jenderal Da’i Bachtiar) bahwa pada organisasi Polri banyak sekali diketemukan perilaku – perilaku menyimpang yang sudah menjadi sub kultur budaya tersendiri. Sub kultur yang menyimpang tersebut diantaranya adalah :
1. Sub kultur eksklusivisme angkatan, kepangkatan, masa tahun pendidikan.
2. Sub kultur korupsi di tubuh Polri dan penyalahgunaan wewenang.
3. Sub kultur ketidak netralan dan keterpihakan kepada politik dan kekuasaan.
4. Sub kultur perekrutan personel polri yang tidak sesuai dengan ketentuan, hanya mengejar target percapaian jumlah personel.
5. Sub kultur budaya militeristik yang masih kental.
Lebih jauh lagi, bahwa ternyata perilaku sub kultur yang menyimpang dari para personel kepolisian seperti tersebut diatas, terjadi pula pada organisasi – organisasi kepolisian di luar negeri. Beberapa penyimpangan yang diketemukan pada organisasi kepolisian luar negeri adalah :
Budaya menyimpang dalam organisasi Polisi ternyata tidak hanya terjadi dalam organisasi Polri saja. Banyak organisasi kepolisian diseluruh dunia yang juga terjangkit penyakit yang sama. Adapun beberapa budaya menyimpang di Kepolisian di dunia yang dapat kita identifikasi antara lain :
1. Sub kultur eksklusivisme angkatan, kepangkatan, masa pendidikan.
Dalam sub budaya ini, diluar negeri lebih banyak berbentuk kepada eksklusivisme dan solidaritas kelompok sejawat dengan bentuk dukungan kepada yang melakukan penyimpangan pekerjaan Polisi. Hal ini dibuktikan dalam penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Criminal Justice Newsletter, 1972; National Advisory Commission in Criminal Justice Standarts and Goals, 1973 dan Law Enforcement Council, 1974 terhadap tindakan perilaku penyimpangan petugas Polisi di Chicago, Indianapolis, New York City dan Philadelphia.
2. Sub kultur korupsi di tubuh Polri dan penyalahgunaan wewenang.
Menurut Sam S Souryal (1999: 495 – 496) di Kepolisian New York skandal tentang korupsi meledak sekali setiap 20 tahun dengan hampir selalu sempurna (Walker, 1983: 174) , laporan dari Komisi Knapp mengenai korupsi, penyuapan, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Polisi (1972) menyatakan bahwa sudah meluas dan merambah dalam berbagai bentuk, tergantung dari kegiatan dan pengalaman detektif.
3. Sub kultur ketidak netralan dan keterpihakan kepada politik, kekuasaan dan kejahatan.
Tercermin dalam bentuk backing sindikat kejahatan (narkotika, penyelundupan, dll), diskriminasi dalam penyidikan dan lain sebagainya. Terhadap bentuk – bentuk diskriminasi, contoh nyata adalah bentuk pembedaan perlakuan dan prasangka dan diskriminatif terhadap orang yang berbeda warna kulit, etnis dan kaum minoritas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ward (1981) menyebutkan bahwa terdapat diskriminasi oleh petugas Anglo dan petugas Hispanik. (Ward dalam Thomas Barker, 1999: 374-377).
4. Sub kultur budaya militeristik yang masih kental.
Di kepolisian luar negeri perilaku penggunaan kekerasan juga terjadi yaitu salah satu contohnya pada tanggal 03 Maret 1991, terjadi perilaku tindak kekerasan oleh petugas Los Angeles Police Departement (LAPD) terhadap Rodney King, yang saat itu tengah melaju di jalan raya California. Rodney King harus menerima kejutan dari pistol pertunjukan (listrik) berkekuatan 50.000 volt, dipukuli dengan tongkat sebanyak 50 kali, setidaknya 15 sampai 27 petugas termasuk seorang pengawas LAPD dan beberapa petugas dari instansi penegak hukum lainnya ikut menonton dan berpartisipasi dalam pemukulan tersebut. Kekerasan tersebut mengakibatkan retak tulang tengkorak, tulang pipi, luka dalam dan kemungkinan kerusakan otak (Baker dan Wright, 1991 dalam Thomas Barker, 1999: 445–446).
Dengan melihat berbagai bentuk penyimpangan diatas bahwa faktor utama penyebab perilaku menyimpang diatas adalah bersumber dari diri perlaku tersebut. Maka dari peranan dari proses seleksi dan penerimaan petugas Polisi lah yang mempunyai dan memegang peran penting dalam proses berjalannya organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Proses Assessement Center Personel Polri yang diharapkan.
Jika melihat dari proses seleksi penerimaan atau assessment center personel Polri yang selama ini dilakukan oleh Organisasi Polri, maka segala ketentuan, prasyarat dan segala standarisasi masih dirasakan belum mampu untuk menjadi alat penyaring dan penyeleksi yang tepat dalam memilih dan menentukan orang – orang yang cocok untuk menjadi personel Polri. Hal tersebut dikarenakan dengan prosedur dan test serta kriteria serta persyaratan tersebut masih saja (banyak) dijumpai personel Polri yang melakukan penyimpangan, meskipun jika dilihat dari hasil test personel yang bersangkutan sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi petugas Polri yang baik.
Proses seleksi penerimaan atau assessment center untuk mencari dan menyeleksi personel Polri agar dapat menjadi petugas yang diharapkan adalah dengan tidak bergantung sepenuhnya kepada aturan dan kriteria yang sudah ada, namun organisasi Polri hendaknya juga terus mengembangkan diri. Dalam proses penerimaan personel Polri, hendaknya juga memperhatikan tentang Faktor – faktor penentu dimensi Kinerja Individu Polisi. Dimana dalam faktor ini terdapat dua hal yang berpengaruh yaitu : competency dan comitment para personel terhadap tugas dan pekerjaan profesinya.
Dalam competency personel Polri tersebut terdiri dari dua hal yaitu soft competency dan hard competency. Selama ini yang dikembangkan oleh organisasi Polri hanyalah Hard Competency saja. Sangat jarang yang membangun soft competency. Terlihat dalam persyaratan seleksi penerimaan personel Polri, yang diatur dan disyaratkan hanyalah persyaratan hard competency saja, dimana dalam berbagai analisis dan penelitian pengaruhnya tidaklah sebesar dari soft competency. Adapun dalam hard competency terdiri dari skill dan knowledge. Berbagai literatur mengatakan bahwa soft competency yang terdiri dari Social Role (peran social), konsep diri (self concept), watak bawaan (trait) dan motive (niat) lebih memberikan pengaruh dalam membentuk kinerja suatu individu dalam organisasi.
Dalam penelitian yang lain, yaitu yang dilakukan oleh Rosier, 1994 menyatakan bahwa 67 % penentu keberhasilan suatu individu adalah factor kompetensi emosional dan bukan factor skill atau knowledge. Penelitian yang lainnya adalah yang dilakukan oleh Spencer dan Spencer (1993) dan Goleman (1998) menyatakan pada semua posisi pekerjaan individu peranan intelektual hanyalah 33 %, sedangkan pada posisi kepemimpinan posisi intelektual adalah hanya 15 %.
Untuk itu hendaknya dalam proses assessment center yang dilakukan oleh organisasi Polri hendaknya juga memperhatikan akan factor dan persyaratan yang berkaitan dengan soft competency personel. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh para pakar dimana untuk penentu keberhasilan dalam pelaksanaan tugas khususnya dalam bidang kepolisian, yaitu :
1. Penelitian Burbeck dan Furnham (1985) menyatakan bahwa tinkat intelegensia dan pendidikan tidak mempengaruhi / menjamin keberhasilan tugas, bahkan factor tersebut merupakan faktor yang rentan sebagai penyebab frustasi.
2. Penelitian Hollin (1989) menyatakan bahwa tes psikologi dan interview juga tidak dapat sepenuhnya menjaring personel yang berintegrity.
3. Penelitian Pynes dan Bernardin (1992) bahwa penentu keberhasilan pelaksanaan tugas lebih banyak ditentukan dan dihasilkan dari proses seleksi assessment center dimana meliputi pelatihan arahan yang tepat, ketrampilan interpersonal skill, persepsi, pengambilan keputusan, kemamtapan dalam berkeputusan, kemampuan beradaptasi, kemampuan berbicara dan kemampuan komunikasi tulis.
Dengan berkembangnya proses seleksi melalui metode assessment center diharapkan akan mampu untuk dapat menjaring dan menyeleksi personel – personel yang baik dan dapat melaksanakan tugas dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
John R Snibbe dan Homa M Snibbe, 1999, Urban Police In Transition A Psychological & Sociological Review with 24 Contributors (Polisi Perkantoran dalam Transisi Tinjauan Psikologis dan Sosiologis dilengkapi dengan 24 sumbangan tulisan), Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Kunarto, 1999, Merenungi Kritik Terhadap Polri: Polri Mandiri, Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Lars H Ekstrand, 2005, Socio-Cultural Factors Affecting Corruption and What to do, Eksternal Contribution – Background Paper dalam Konferensi Anti Korupsi Regionalke 5 tanggal 28 – 30 September 2005, Beijing, RRC.
Nurinwa Ki S Hendrowinoto, dkk, 2007, Ensiklopedi Kapolri Jenderal Polisi Prof. Drs. Da’I Bachtiar, SH, Kapolri ke 17 periode 2001 s/d 2005, Jakarta: Panitia Penulisan Ensiklopedi Kapolri.
O’Connor, TR, 2005, Police Deviance and Ethics, Article on PoliceCrimes.Com tanggal 11 November 2005.
Paul De Jong, 1999, Het Blauwe Recht Op Weg Naar Een Beroepscode Van De Politie (Hukum Biru Jalan Menuju Kode Jabatan Polisi), Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Peter Villiers, 1999, Better Police Ethics: A Practical Guide (Pedoman Praktis Memperbaiki Etika Kepolisian), Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Robert J Sampson dan Dawn Jeglum Barthusch, 1998, Attitudes Toward Crimes, Police and the Law: Individual and Neighborhood Differences, Artikel of National Institute of Justice.
Sam S Souryal, 1999, Ethics in Criminal Justice In Search of the Truth (Etika dalam Peradilan Pidana Upaya Mencari Kebenaran), Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Samuel Knapp dan Leon VandeCreek, 2001, Ethical Issues in Personality Assessment in Forensic Psychology, Jurnal of Personality Assessment 77(2), hal 242-254, Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Pendahuluan
Dalam suatu organisasi proses manajemen organisasi sangat menentukan keberhasilan organisasi tersebut dalam mencapai tujuan. Karena dalam proses manajemen tersebut meliputi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan organisasi. Manajemen tersebut meliputi kegiatan yang berupa Planning, Organizing, Actuating dan Controlling. Kesemua kegiatan dalam proses manajemen tersebut mempunyai peranan yang besar dan menentukan, serta merupakan suatu kesatuan fungsi yang harus dilaksanakan secara simultan dan tidak terpisah – pisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Lebih lanjut bahwa pelaksanaan keempat tahapan tersebut, sangat ditentukan oleh adanya faktor – faktor yang menjadi penggerak terlaksananya proses manajemen suatu organisasi. Adapun faktor – faktor tersebut yaitu : Man, Money, Method dan Material. Sehingga dalam suatu pencapaian tujuan organisasi sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas dan kuantitas sumber daya manusianya, bagaimana sumber daya finansial / alamnya, bagaimana metode pelaksanaan kegiatan / pekerjaan sehari – hari, serta bagaimana kualitas dan kuantitas kepemilikan modal serta bahan baku.
Demikian pula terhadap organisasi Polri. Keempat faktor tersebut juga sangat berperan dalam mendukung pelaksanaan tugas organisasi Polri untuk mencapai tujuan yang diinginkan sesuai dengan Visi dan Misi organisasi Polri. Dengan mengacu kepada visi Polri yaitu ”Terwujudnya postur Polisi yang profesional, bermoral, dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang dipercaya dalam melindungi masyarakat dan menegakkan hukum”, maka sangat kentara sekali bahwa fokus dan titik berat pelaksanaan kegiatan Polri dalam untuk mewujudkan suatu Personel yang sempurna, dalam hal ini membentuk atau terwujudnya personel Polisi Indonesia yang profesional, bermoral dan modern.
Untuk mencapai tujuan yang bersumber atau berdasar dari visi Polri tersebut diatas, maka faktor kualitas sumber daya manusia (kualitas Personel Polisi) menjadi faktor penentunya. Kita ketahui bersama bahwa untuk mendapatkan suatu personel yang berkualitas maka sangat tergantung kepada bagaimana proses seleksi dan penerimaan personel dari suatu organisasi dilakukan.
Assessment Center Polri
Pada dewasa ini, proses dan sistem perekrutan personel dan anggota Polri dilakukan melalui tiga model atau tiga jalur, yaitu melalui penerimaan dan seleksi Perwira Polisi (Akpol), penerimaan dan seleksi Bintara Polri dan penerimaan dan seleksi PNS Polri. Dari ketiga jalur atau proses penerimaan personel tersebut, bahwa proses seleksi penerimaan Akpol dan Bintara merupakan jalur yang memberikan pengaruh besar dari corak dan warna organisasi Polri. Hal ini dikarenakan, kedua jalur / proses penerimaan tersebut (Akpol dan Bintara) menghasilkan personel – personel yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Sedangkan untuk seleksi PNS Polri, hal ini kurang berpengaruh karena konsep dari PNS Polri hanyalah sebagai komplemen dalam susunan organisasi Polri.
Dalam kedua proses seleksi penerimaan personel tersebut, baik Akpol maupun Bintara Polri tersebut, terdapat kesamaan – kesamaan yang berupa adanya ketentuan – ketentuan yang mensyaratkan bahwa untuk menjadi seorang personel Polri harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut diantaranya :
1. Mengenai batasan umur ; bahwa untuk menjadi anggota Pesonel Polri harus tidak melebihi umur tertentu.
2. Pendidikan ; adanya persyaratan pendidikan minimal untuk seleksi penerimaan personel Polri tertentu.
3. Sehat jasmani dan rohani.
4. Mengikuti dan lolos tahapan tes seleksi, meliputi :
a. Tes Akademik, baik tes potensi akademik, tes pengetahuan umum kepolisian dan tes bahasa inggris.
b. Tes Kesemaptaan jasmani.
c. Tes Psikologi.
d. Tes Mental Ideologi
e. Tes Wawancara / parade.
Dari persyaratan dan ketentuan tersebut diatas, ternyata berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor – faktor diatas belumlah cukup untuk dapat menjaring dan menghasilkan sosok personel Polri yang diharapkan oleh masyarakat. Yaitu sosok petugas polisi yang mengedepankan civillian.
Sosok Polisi Dilapangan
Selama ini masih dirasakan oleh masyarakat bahwa sosok polisi yang sering dijumpainya adalah polisi yang mengedepankan kekuasaan dan kedaerahannya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wortley dan Homel pada tahun 1995. Demikian pula ensiklopedia kapolri (Jenderal Da’i Bachtiar) bahwa pada organisasi Polri banyak sekali diketemukan perilaku – perilaku menyimpang yang sudah menjadi sub kultur budaya tersendiri. Sub kultur yang menyimpang tersebut diantaranya adalah :
1. Sub kultur eksklusivisme angkatan, kepangkatan, masa tahun pendidikan.
2. Sub kultur korupsi di tubuh Polri dan penyalahgunaan wewenang.
3. Sub kultur ketidak netralan dan keterpihakan kepada politik dan kekuasaan.
4. Sub kultur perekrutan personel polri yang tidak sesuai dengan ketentuan, hanya mengejar target percapaian jumlah personel.
5. Sub kultur budaya militeristik yang masih kental.
Lebih jauh lagi, bahwa ternyata perilaku sub kultur yang menyimpang dari para personel kepolisian seperti tersebut diatas, terjadi pula pada organisasi – organisasi kepolisian di luar negeri. Beberapa penyimpangan yang diketemukan pada organisasi kepolisian luar negeri adalah :
Budaya menyimpang dalam organisasi Polisi ternyata tidak hanya terjadi dalam organisasi Polri saja. Banyak organisasi kepolisian diseluruh dunia yang juga terjangkit penyakit yang sama. Adapun beberapa budaya menyimpang di Kepolisian di dunia yang dapat kita identifikasi antara lain :
1. Sub kultur eksklusivisme angkatan, kepangkatan, masa pendidikan.
Dalam sub budaya ini, diluar negeri lebih banyak berbentuk kepada eksklusivisme dan solidaritas kelompok sejawat dengan bentuk dukungan kepada yang melakukan penyimpangan pekerjaan Polisi. Hal ini dibuktikan dalam penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Criminal Justice Newsletter, 1972; National Advisory Commission in Criminal Justice Standarts and Goals, 1973 dan Law Enforcement Council, 1974 terhadap tindakan perilaku penyimpangan petugas Polisi di Chicago, Indianapolis, New York City dan Philadelphia.
2. Sub kultur korupsi di tubuh Polri dan penyalahgunaan wewenang.
Menurut Sam S Souryal (1999: 495 – 496) di Kepolisian New York skandal tentang korupsi meledak sekali setiap 20 tahun dengan hampir selalu sempurna (Walker, 1983: 174) , laporan dari Komisi Knapp mengenai korupsi, penyuapan, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Polisi (1972) menyatakan bahwa sudah meluas dan merambah dalam berbagai bentuk, tergantung dari kegiatan dan pengalaman detektif.
3. Sub kultur ketidak netralan dan keterpihakan kepada politik, kekuasaan dan kejahatan.
Tercermin dalam bentuk backing sindikat kejahatan (narkotika, penyelundupan, dll), diskriminasi dalam penyidikan dan lain sebagainya. Terhadap bentuk – bentuk diskriminasi, contoh nyata adalah bentuk pembedaan perlakuan dan prasangka dan diskriminatif terhadap orang yang berbeda warna kulit, etnis dan kaum minoritas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ward (1981) menyebutkan bahwa terdapat diskriminasi oleh petugas Anglo dan petugas Hispanik. (Ward dalam Thomas Barker, 1999: 374-377).
4. Sub kultur budaya militeristik yang masih kental.
Di kepolisian luar negeri perilaku penggunaan kekerasan juga terjadi yaitu salah satu contohnya pada tanggal 03 Maret 1991, terjadi perilaku tindak kekerasan oleh petugas Los Angeles Police Departement (LAPD) terhadap Rodney King, yang saat itu tengah melaju di jalan raya California. Rodney King harus menerima kejutan dari pistol pertunjukan (listrik) berkekuatan 50.000 volt, dipukuli dengan tongkat sebanyak 50 kali, setidaknya 15 sampai 27 petugas termasuk seorang pengawas LAPD dan beberapa petugas dari instansi penegak hukum lainnya ikut menonton dan berpartisipasi dalam pemukulan tersebut. Kekerasan tersebut mengakibatkan retak tulang tengkorak, tulang pipi, luka dalam dan kemungkinan kerusakan otak (Baker dan Wright, 1991 dalam Thomas Barker, 1999: 445–446).
Dengan melihat berbagai bentuk penyimpangan diatas bahwa faktor utama penyebab perilaku menyimpang diatas adalah bersumber dari diri perlaku tersebut. Maka dari peranan dari proses seleksi dan penerimaan petugas Polisi lah yang mempunyai dan memegang peran penting dalam proses berjalannya organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Proses Assessement Center Personel Polri yang diharapkan.
Jika melihat dari proses seleksi penerimaan atau assessment center personel Polri yang selama ini dilakukan oleh Organisasi Polri, maka segala ketentuan, prasyarat dan segala standarisasi masih dirasakan belum mampu untuk menjadi alat penyaring dan penyeleksi yang tepat dalam memilih dan menentukan orang – orang yang cocok untuk menjadi personel Polri. Hal tersebut dikarenakan dengan prosedur dan test serta kriteria serta persyaratan tersebut masih saja (banyak) dijumpai personel Polri yang melakukan penyimpangan, meskipun jika dilihat dari hasil test personel yang bersangkutan sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi petugas Polri yang baik.
Proses seleksi penerimaan atau assessment center untuk mencari dan menyeleksi personel Polri agar dapat menjadi petugas yang diharapkan adalah dengan tidak bergantung sepenuhnya kepada aturan dan kriteria yang sudah ada, namun organisasi Polri hendaknya juga terus mengembangkan diri. Dalam proses penerimaan personel Polri, hendaknya juga memperhatikan tentang Faktor – faktor penentu dimensi Kinerja Individu Polisi. Dimana dalam faktor ini terdapat dua hal yang berpengaruh yaitu : competency dan comitment para personel terhadap tugas dan pekerjaan profesinya.
Dalam competency personel Polri tersebut terdiri dari dua hal yaitu soft competency dan hard competency. Selama ini yang dikembangkan oleh organisasi Polri hanyalah Hard Competency saja. Sangat jarang yang membangun soft competency. Terlihat dalam persyaratan seleksi penerimaan personel Polri, yang diatur dan disyaratkan hanyalah persyaratan hard competency saja, dimana dalam berbagai analisis dan penelitian pengaruhnya tidaklah sebesar dari soft competency. Adapun dalam hard competency terdiri dari skill dan knowledge. Berbagai literatur mengatakan bahwa soft competency yang terdiri dari Social Role (peran social), konsep diri (self concept), watak bawaan (trait) dan motive (niat) lebih memberikan pengaruh dalam membentuk kinerja suatu individu dalam organisasi.
Dalam penelitian yang lain, yaitu yang dilakukan oleh Rosier, 1994 menyatakan bahwa 67 % penentu keberhasilan suatu individu adalah factor kompetensi emosional dan bukan factor skill atau knowledge. Penelitian yang lainnya adalah yang dilakukan oleh Spencer dan Spencer (1993) dan Goleman (1998) menyatakan pada semua posisi pekerjaan individu peranan intelektual hanyalah 33 %, sedangkan pada posisi kepemimpinan posisi intelektual adalah hanya 15 %.
Untuk itu hendaknya dalam proses assessment center yang dilakukan oleh organisasi Polri hendaknya juga memperhatikan akan factor dan persyaratan yang berkaitan dengan soft competency personel. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh para pakar dimana untuk penentu keberhasilan dalam pelaksanaan tugas khususnya dalam bidang kepolisian, yaitu :
1. Penelitian Burbeck dan Furnham (1985) menyatakan bahwa tinkat intelegensia dan pendidikan tidak mempengaruhi / menjamin keberhasilan tugas, bahkan factor tersebut merupakan faktor yang rentan sebagai penyebab frustasi.
2. Penelitian Hollin (1989) menyatakan bahwa tes psikologi dan interview juga tidak dapat sepenuhnya menjaring personel yang berintegrity.
3. Penelitian Pynes dan Bernardin (1992) bahwa penentu keberhasilan pelaksanaan tugas lebih banyak ditentukan dan dihasilkan dari proses seleksi assessment center dimana meliputi pelatihan arahan yang tepat, ketrampilan interpersonal skill, persepsi, pengambilan keputusan, kemamtapan dalam berkeputusan, kemampuan beradaptasi, kemampuan berbicara dan kemampuan komunikasi tulis.
Dengan berkembangnya proses seleksi melalui metode assessment center diharapkan akan mampu untuk dapat menjaring dan menyeleksi personel – personel yang baik dan dapat melaksanakan tugas dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
John R Snibbe dan Homa M Snibbe, 1999, Urban Police In Transition A Psychological & Sociological Review with 24 Contributors (Polisi Perkantoran dalam Transisi Tinjauan Psikologis dan Sosiologis dilengkapi dengan 24 sumbangan tulisan), Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Kunarto, 1999, Merenungi Kritik Terhadap Polri: Polri Mandiri, Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Lars H Ekstrand, 2005, Socio-Cultural Factors Affecting Corruption and What to do, Eksternal Contribution – Background Paper dalam Konferensi Anti Korupsi Regionalke 5 tanggal 28 – 30 September 2005, Beijing, RRC.
Nurinwa Ki S Hendrowinoto, dkk, 2007, Ensiklopedi Kapolri Jenderal Polisi Prof. Drs. Da’I Bachtiar, SH, Kapolri ke 17 periode 2001 s/d 2005, Jakarta: Panitia Penulisan Ensiklopedi Kapolri.
O’Connor, TR, 2005, Police Deviance and Ethics, Article on PoliceCrimes.Com tanggal 11 November 2005.
Paul De Jong, 1999, Het Blauwe Recht Op Weg Naar Een Beroepscode Van De Politie (Hukum Biru Jalan Menuju Kode Jabatan Polisi), Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Peter Villiers, 1999, Better Police Ethics: A Practical Guide (Pedoman Praktis Memperbaiki Etika Kepolisian), Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Robert J Sampson dan Dawn Jeglum Barthusch, 1998, Attitudes Toward Crimes, Police and the Law: Individual and Neighborhood Differences, Artikel of National Institute of Justice.
Sam S Souryal, 1999, Ethics in Criminal Justice In Search of the Truth (Etika dalam Peradilan Pidana Upaya Mencari Kebenaran), Jakarta: PT. Cipta Manunggal.
Samuel Knapp dan Leon VandeCreek, 2001, Ethical Issues in Personality Assessment in Forensic Psychology, Jurnal of Personality Assessment 77(2), hal 242-254, Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
No comments:
Post a Comment